Senin, 18 Februari 2013

kilas budaya


Sistem Pemerintahan Adat
Sistem Pemerintahan Adat
Di Kerajaan Paksi Pak
Sekala Brak Sebagian Raja
- Raja Dibawah Sai Batin
Kepaksian Nyerupa
Perdana Menteri dan Para
Raja Jukkuan Kepaksian
Sultan merupakan pucuk
pimpinan tertinggi di
dalam adat sekala brak,
sebutan Dudungan Mulia
dari masyarakat adat
( jamma jamma ) kepada
pimpinan adatnya. Segala
titah Sai Batin atau Sultan
adalah merupakan amanat
yang musti di jalani atau
dilaksanakan oleh
siapapun yang menerima
titahnya, sebuah pantun
azimat yang cukup
terkenal berbunyi “ khiah
khiah kik dawah,
kekunang kak debingi, kik
kak saibatin mekhittah,
tisansat kik pak mati “
merupakan penggambaran
kesetiaan masyarakat
adat terhadap amanah
yang dititahkan oleh
sultannya walau
penunaiannya di ibaratkan
mempertaruhkan nyawa.
Dalam menjalankan
kepemimpinan adatnya sai
batin membawahi struktur
adat yang tersusun rapi,
dan setiap pimpinan dalam
struktur adat dibawah sai
batin tersebut juga
memiliki bawahanan
lainnya. Terdapat 7
tingkatan hierarki dalam
adat Kerajaan Paksi Pak
Sekala Brak yang tetap
dipegang teguh yaitu
mulai dari tertinggi Sultan,
Raja Suku/Jukkuan, Batin,
Radin, Minak, Kimas dan
Mas. Sultan juga dalam
menjalankan fungsinya
dibantu oleh Pemapah
Dalom, semacam perdana
menteri, yang biasanya
diangkat dari salah
seorang paman atau adik
Sultan. Para Pemapah
Dalom/ Pemapah Paksi
bergelar Raja. Adapun
Masyarakat adat di dalam
pemerintahan Adat Paksi
Pak Sekala Brak
terkelompok dalam
struktur adat sebagai
berikut : 1. Jukku dipimpin
Kepala Jukku bergelar
Raja 2. Sumbai dipimpin
Kepala Sumbai bergelar
Batin 3. Kebu dipimpin
Kepala Kebu bergelar
Radin 4. Lamban
(Keluarga) dipimpin
Kepala Keluarga atau
Ghagah. Dalam
perkembangannya ketika
penjajaha belanda datang
ke tanah bumi sekala
brak, tatanan adat mulai
dikuasai, apalagi setelah
kekalahan paksi pak
sekala brak dalam
peperangan dengan
belanda dan
dibumihanguskannya
istana atau Lamban
Gedung tempat
bernaungnya masyarakat
adat, hingga banyak pula
rakyat yang berceraiberai,
bahkan dikeluarkanlah
Gouvernments besluit
ddo.6 Maar n.18,
( Maklumat Gubernur
jendral tertanggal 6 Maret
1844. No. 18), melarang
Paksi Pak memakai nama
Kerajaan dan dilarang :
Pangkat Maharaja dan
Raja pada Kebuayan dan
marga marga tidak boleh
lagi dipergunakan.
sebutan bagi pemimpin
masyarakat adat adalah
Pesirah. Blanda berupaya
menanamkan nilai nilai
kepercayaan ajaran
kristiani di sekitar
Kerajaan Paksi Pak Sekala
Brak / Lampung Barat.
Dizaman penjajahan
belanda inilah
pemerintahan adat Paksi
Pak dilemahkan, dan
dibuat tandingan
tandingannya, dengan
membetuk system
kepesirahan didalam
sebuah marga, walaupun
dengan siasatnya
mengadopsi tata adat
yang ada dikepaksian
untuk diterapkan di
tingkat marga. Bahkan
setelah dipilihnya
seseorang untuk menjadi
pesirah, belanda
menganugerahkan gelar
atau adok setingkat sultan
atau suntan untuk pesirah
pesirah baru dan bahkan
dianugerahkan pula gelar
pangeran bagi yang telah
berjasa. Tata adat dan
pemerintahan adat sekala
brak tidaklah sepenuhnya
ditinggalkan oleh belanda,
karena masih banyak pula
masyarakat yang
memegang teguh.
Ditengah kekangan
belanda Paksi Pak Sekala
Brak masih mampu
bertahan untuk tetap
memegang teguh nilai
nilai leluhurnya dan
terbukti hingga kini
perjalanan terjal itu
mampu dilalui, karena
Sultan dari setiap Paksi
beserta rakyatnya masih
tetap ingin meneruskan
kearifan nenek moyang.
Salah satunya di pimpin
oleh Sultan Ali Akbar
Hidayatullah Waliyullah,
Jurai ke16 dari Buay
Nyerupa.Tahun 1868
Beliau melakukan perang
gerilya diwilayah Gunung
Pesagi, Gunung Seminung,
Belalau sampai ke Pugung
Tampak, belanda
mengajak berunding
Sultan Ali Akbar agar
melakukan perdamaian.
kan tetapi tawaran
tersebut ditolak, kecuali
belanda tidak memeach
belah kekuasaan Paksi.
permintaan tersebut tentu
ditolak, dengan siasat
liciknya belanda
menangkap Sultan Ali
Akbar dan dibuang
kemuko muko bengkulu
selama dua tahun,
didalam pembuangannya
Sultan Ali Akbar miminta
izin kepada belanda untuk
menunaikan ibadah haji.
Diiringin oleh para
pangeran pagar alam,
beliau berangkat melalui
pelabuahn Menggala.
Namun Takdir
membwanya wafat ditanah
suci, masyarakat buay
nyerupa mengenangnnya
dengan ungkapan
"terbang burung, terbang
sangkarnya" . Begitu juga
Dipertuan PANGERAN
RINGGAU Gelar Pangeran
Batin Pasirah Purbajaya
Bindung Langit Alam
Benggala ( 1852 ),
mendapatkan kehormatan
SANDANG MERDIKA dan
rakyat dimerdekakan
selama 14 tahun tidak
melaksanakan kerja gawi
raja, karena jasanya
menyelesaikan masalah
rejang lebong dan
pasemah lebar. Kerajaan
Adat Paksi Pak Sekala
Brak kini masih tetap
menjalankan tradisinya
dalam menjalankan
permufakatan, berupaya
tetap meneruskan tradisi
nenek moyang terdahulu,
adapun Permufakatan
Sidang Adat atau yang
disebut “HIMPUN”adalah
Himpun Keluarga, Himpun
Belambanan, Himpun
Bahmekonan, Himpun
Paksi / Marga. Didalam
himpun biasanya
digunakan tata bahasa
yang tinggi atau halus,
disampaikan untuk
menerangkan maksud
hajat ataupun
penyelesaian masalah,
percakapan ini biasa
disebut "betetangguh".
Tangguh / Betetangguh,
Sai Batin Marga kepada
Sai Batin Paksi Bagi setiap
Paksi juga memiliki
punggawa2 yang
merupakan keluaran dari
salah satu 4 paksi, baik
dari Paksi Pernong,
Belunguh, Bejalan Diway.
Punggawa punggawa
tersebut saaat ni
kebanyakan telah berdiri
menjadi marga marga
yang tersebar di berbagai
penjuru lampung. Salah
satunya seperti di
Kepaksian Nyerupa yang
memeiliki penggawa
penggawa perwakilan
Lampung yang indah sejak
tahun 1600 sampai tahun
1933 M tersebar /
berdomisili : 1. Ujung ilir
menggala raja dibukit raja
pagar alam/ warga
Negara. 2. Marga
Baradatu dusun tiuh balak
gelar batin bala seribu
pangeran si pahit lidah 3.
Marga Jabung dusun
bungkuk labuhan
meringgai Hi. Harun
Pesirah Marga Unyi gelar
sutan Tjik. 4. Dusun
Canggu kalianda pangern
tihang marga jurai dalom
abdul wahab 5. Marga
Punduh/ kunyayan
kecamat padang cermin,
Ahmad Rozi gelar Batin
Paksi 6. Sabu menanga
dusun menyangan padang
cermin gelar Pangeran
Ismail 7. Marga pematang
sawa way nipah gedung
dalom nama muhtar
istrinya asli 8. Buay
nyekhupa kecamatan
gunung sugih nama gozali
gelar suntan penutup 9.
Negara batin kota agung
suntan batin dan hermain
10. Marga ngarip kota
agung gelar raja syapri 11.
Semaka kota agung M.
yusuf (senin/mulud),
Mulkan-sallim sk. 12.
Seputih doh cuku balak
Muhammad husen gelar
raja pemulihan marga 13.
Sinar waya sukarajin
lamban balak dalom
sempurna. Ketiga belas
penggawa di Lampung itu
merupakan perwakilan
paksi buay nyerupa dan
masih banyak jurai-jurai
paksi buay nyerupa yang
tidak diketahui lagi atau
telah putus mata rantai
dikarenakan perubahan
zaman sehingga tidak
diketahui lagi seperti
penggawa way urang,
kelumbayan, gedung
menang dan kaliandak


Memang ada beberapa keratuan Keratuan

Dipuncak yang dalam
catatan I-Tsing dikenal
dengan nama To-Lo-
Phwang (To: Orang dan

Lo-Phwang: Lampung
atau diatas bukit) atau
Kendali (Kenali,
Lampung Barat).
Rajanya yang terkenal
Sri Haridewa dan raja
terakhir adalah Ratu
Sekarmong (Ranji
Pasai). Suku Lampung
yang masih menganut
agama Hindu Birawa ini
dikenal dengan Buai
Tumi. Kerajaan ini
menjalin hubungan
dengan Kerajaan
Sunda-Galuh dengan
pernikahan Putri Ratna
Sarkati (Putri Raja
Kendali Lampung)
dengan Prabu Niskala
Wastu Kencana (Putra
Prabu Linggabuana,
Raja Sunda-Galuh yang
tewas di Perang
Bubat). Kedatangan
rombongan Putri Ratna
Sarkati tersebut
membawa Pisang Muli
yang waktu itu hanya
ada di Lampung.
Sehingga pada saat ini
di Jawa Barat dikenal
juga dengan Pisang
Muli atau Pisang
Lampung. Dari
pernikahan tersebut
melahirkan Prabu
Susuk Tunggal atau
Sang Haliwungan (Raja
Sunda , ayah Kentrik
Manik Mayang Sunda).
Sedangkan istri kedua
Prabu Niskala Wastu
Kencana adalah Putri
dari pamannya Resi
Bunisora (adik Prabu
Lingga Buana) dan
melahirkan Prabu
Ningrat Kencana (Raja
Galuh, ayah Prabu
Siliwangi).
Balau, Pugung dan
Paksi Pak
Keratuan Puncak –
yang berhubungan

dengan Kerajaan
Sunda-Galuh - yang
telah runtuh
mendirikan keratuan
baru yang diberi nama
Keratuan Balau yang
terletak di kaki Gunung
Jualang Tanjung Karang
Timur. Keratuan ini
masih berhubungan
dengan kerajaan
Sunda-Galuh baru yang
dikenal nama kerajaan
Padjajaran. Keratuan
Balau runtuh karena
terjadi perperangan
yang tidak seimbang di
wilayah Keratuan
Balau atas campur
tangan pihak Belanda.
Keratuan baru juga
berdiri di Labuhan
Maringgai Lampung
Timur yang dikenal
dengan Keratuan
Pugung. Ratu Pugung
mempunyai anak yang
bernama Putri Sinar
Alam yang diperistri
oleh Sunan Gunung Jati
(Cucu Prabu Siliwangi
dari permaisuri Subang
Larang). Dari
perkawinan tersebut
melahirkan anak yang
diberi nama Ratu
Darah Putih yang
kemudian hari
mendirikan Keratuan
Darah Putih di Kuripan,
Kalianda Lampung
Selatan.
Keratuan Paksi Pak
Skala Brak berdiri
sekitar abad ke-15
dimana terdiri dari
empat kepaksian
yaitu :
- Buay Bejalan Diway
bertakhta kerajaan di
Puncak Dalom
- Buay Nyekhupa
bertakhta kerajaan di
Nampak Siring
- Buay Belunguh
bertakhta kerajaan di
Tanjung Menang
- Buay Pernong
bertakhta kerajaan di
Kota Hanibung
Kepaksian Skala Brak
tersebut masih ada
hingga sekarang, dan
sebagian keturunannya
menyebar ke berbagai
penjuru di Lampung.
d) Masa Keratuan
Darah Putih dan
Berdirinya Adat
Pepadun
Keratuan Darah Putih
yang didirikan oleh
Ratu Darah Putih
bersamaan masanya
dengan pemerintahan
Kesultanan Banten
pertama oleh Sultan
Hasanuddin. Sultan
Hasanuddin
(Sabangkingking)
adalah kakak satu
bapak lain ibu dari
Ratu Darah Putih, dan
keduanya putra Syarif
Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati). Ibu Sultan
Hasanuddin adalah
Nyai Kawunganten
yang merupakan cucu
dari Prabu Siliwangi
dari Istrinya Centrik
Manik Mayang Sunda
(anak Prabu Susuk
Tunggal, Raja Sunda
yang berdarah
Lampung).
Jadi Sunan Gunung Jati
dan Nyai Kawunganten
merupakan sama-sama
cucu dari Prabu
Siliwangi yang berbeda
nenek.
Dengan adanya
hubungan saudara
antara Ratu Darah
Putih dan Sultan
Hasanuddin tersebut,
menjadikan Lampung
dan Banten saling
membantu dalam
menghadapi masalah
atau konflik pada masa
itu. Misalnya saja pada
masanya pemerintahan
Sultan Maulana Yusuf,
Banten atas bantuan
dari beberapa
Kebuaian dari Lampung
dapat menaklukan sisa-
sisa Kerajaan
Padjajaran yang masih
beragama Hindu.
Sehingga sisa-sisa
prajurit Padjajaran
yang tidak mau masuk
islam mengungsi ke
Banten Selatan yang
kini disebut dengan
Suku Badui.
Disamping berdirinya
Keratuan Darah Putih
di daerah pesisir Teluk
Lampung, berdiri pula
di daerah Lampung
Bagian Tengah dan
Utara kesatuan Adat
Lampung yang diberi
nama Adat Pepadun
sekitar abad ke-17
pada zaman kesultanan
Banten. Pada mulanya
terdiri dari 12 kebuaian
(Abung Siwo Mego dan
Pubian Telu Suku),
kemudian ditambah 12
kebuaian lain yaitu
Mego Pak Tulang
Bawang, Buay Lima
Way Kanan dan
Sungkai Bunga Mayang
(3 Buay) sehingga
menjadi 24 kebuaian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar